Minggu, 24 Oktober 2010

MERAIHMU


Lima tahun sudah ku mengenalnya sebagai seorang sahabat yang selalu mendengar keluh kesahnya akan semua masalah yang sering ia hadapi mulai dari masalah keseharian, pekerjaan sampai percintaan. Sahabat yang selalu keluar juga beraktivitas bersama, karena kebetulan kita berdua punya hobby yang sama. Aku suka bersahabat dengannya karena ia humoris, aktif, talkative, tomboy, jahil dan yang pasti nggak pernah neko-neko. Sering aku dibuatnya tertawa terpingkal-pingkal karena candanya, tingkah lakunya yang terkadang konyol, ucapan-ucapannya yang sesekali polos. Sering juga aku dibuatnya berpikir sangat serius karena harus menemukan solusi untuk beberapa permasalahan yang sering dihadapinya. Selama lima tahun aku bersahabat dengannya, aku cukup mengenalnya sampai-sampai teman-teman, keluarga juga pacarnya juga cukup dekat denganku, bahkan pacar barunya ini sering bertanya padaku apa yang harus dia lakukan tiap kali pacarnya yang badung itu marah padanya. Sebetulnya usia kita berdua berbeda, aku 3th lebih tua darinya, tapi perbedaan usia kita nggak sedikitpun menghalangi hubungan persahabatan kita. Aku suka setiap kali mendengar kata-kata Mas saat ia memanggilku, dan ia juga minta padaku supaya memanggilnya “Dik”, bukan namanya saat berbicara dengannya “Supaya lebih akrab” katanya. Dia juga pernah berucap kalau dia sudah menganggapku nggak cuma sebagai sahabat, tapi juga sudah seperti kakaknya sendiri dan itu yang membuatnya nggak pernah canggung untuk bermanja-manja padaku.

Pernah suatu hari dia cerita padaku kalau dia merasa lelah karena di usianya yang sudah menjelang 30th masih juga belum menemukan calon pendamping hidup yang tepat seperti yang ia harapkan. Setiap kali berhubungan, selalu ada aja kekurangan dari pacarnya. Sampai pernah kubilang padanya “Dik, jadi orang jangan terlalu memilih, nggak semua orang sempurna, nggak ada orang yang punya semua kriteria seperti yang kau mau”, tapi dia cuma tertawa menanggapi komentarku sambil melirik ke arahku dan bergumam “Yaaa aku kan pengen hidup nyaman mas, siapa sih yang mau hidup susah?” yang ia pikir aku takkan mendengar apa yang ia katakan. Aku sayang padanya seperti aku menyayangi adikku sendiri, sampai-sampai aku selalu siaga kapanpun ia butuhkan, aku akan ada disisinya untuk mendengarkan juga membantunya menyelesaikan masalahnya. Tapi beberapa bulan ini aku merasa ada perasaan yang lain ketika berdekatan dengannya, apa mungkin aku mulai suka dengannya? Ah….. jangan sampai, aku nggak mau ngerusak hubungan persahabatan ini, apalagi dia sudah punya pacar. Tapi….. semakin aku menyangkal perasaan ini, semakin kuat rasa ini menyelimuti hatiku. Aku mulai cemburu tiap kali melihatnya pergi dengan pacarnya. Aaaaargh…. Ada apa denganku? Aku nggak mau melukainya karena perasaan ini. Apalagi aku dulu pernah berjanji padanya kalau aku takkan pernah mencintainya sebagai pacar.

Aku mulai galau, tanpa sepengetahuannya aku mulai menghubungi semua mantan pacarnya untuk menanyakan beberapa hal tentangnya yang tak kuketahui. Kutemui pacar pertamanya, 2th dulu ia berhubungan dengannya. Setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatanganku, akupun mulai bertanya padanya “Mas… kalau saya boleh tau, apa permasalahan yang dulu menyebabkan hubungan kalian putus? Dan kalau saya boleh tau, apa kelebihan dan kekurangan Sari dimata mas?”, Mas Nunk tersenyum dan menjawab “Dulu saya pernah berbuat salah padanya, saya pernah menduakan dia. Saya terlalu posesif, padahal saya tau dari semua kegiatan disekolah dia tipe anak yang mandiri bebas nggak suka terlalu dikekang. Yang saya suka darinya, dia mandiri dan nggak pernah nuntut minta diantar atau dijemput kemanapun ia pergi. Dan yang nggak saya suka darinya cuma cara bergaulnya, sebetulnya nggak salah kalau dia punya banyak teman laki-laki, tapi dia nggak pernah menghiraukan saya kalau saat bersamanya tiba-tiba ada teman-temannya itu datang.”, Aku mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya, dan aku juga mencatat semua perkataannya dalam otakku.

Hari berikutnya aku mendatangi pacar keduanya dan memulai percakapan seperti apa yang sudah kulakukan pada pacar pertamanya. Mas Arto yang sempat menjalin hubungan dengannya selama hampir 2th pun mulai bercerita padaku “Entah ya mas, apa yang salah dalam hubungan kita dulu. Masalah kita waktu itu cuma jarak aja, saya kerja di luar kota sementara dia masih kuliah di Malang. Cuma itu aja kok, kalau soal kelebihannya yang saya suka adalah sifat humoris dan jahilnya. Dulu saya pernah dijahili sampai saya teriak dan hampir copot jantung saya karena ulahnya, jadi ceritanya dulu dia pernah kasih saya amplop yang katanya obat stress tapi begitu saya buka ternyata amplop itu bergetar dan mengeluarkan bunyi aneh, dan itu yang membuat saya berteriak sambil melemparkan amplop itu. Saat itu saya lihat Sari tertawa terpingkal-pingkal karena puas sudah bisa menjahili saya, saya nggak akan pernah melupakan kejadian itu sampai kapanpun”. Mendengar ceritanya aku ikut tertawa, ternyata sudah banyak korban kejahilannya.

Beberapa hari berikutnya aku menghubungi pacar ketiganya yang katanya hubungan mereka hampir 3th, dan ini hubungan terlama dalam sejarah percintaannya. Karena mas Putra tinggal diluar pulau, jadi aku cuma bisa menghubunginya via telepon. Sedikit canggung aku mulai bertanya padanya, karena sepengetahuanku Sari tak pernah memberi nilai buruk setiap kali ia menceritakan kisah cintanya dengan mas Putra, itu berarti besar kemungkinan kalau mas Putra ini tipe ideal yang dia cari. Dengan nada bicara yang dewasa mas Putra menjawab pertanyaanku “Masalah dalam hubungan kita cuma di perbedaan keyakinan, saya dan Sari tidak bisa menemukan titik temu juga jalan keluar dari permasalahan ini. Keluarga kita berdua jelas-jelas menolak hubungan kita, sampai akhirnya kita memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kita. Karena saya takut ia tidak bisa melupakan saya, akhirnya saya menghindarinya dan menghilang dari kehidupannya. Hal yang paling saya suka darinya, dia mandiri, tegas setiap mengambil keputusan dan nggak seperti perempuan-perempuan lain ia jarang sekali ngambek. Kalau hal yang paling nggak saya suka ya cara ia bergaul dengan teman-teman cowoknya, Sari nggak pernah menganggap dirinya perempuan tiap kali ada diantara mereka. Kalau dia bersikap seperti itu cuma sama saya sih nggak apa-apa ya mas, tapi saya nggak rela kalau Sari diperlakukan seperti itu sama cowok-cowok lain.”.

Selesai urusanku dengan mas Putra, kini aku melanjutkan menghubungi mas Bowo. Dulu ia pernah cerita padaku awal perkenalannya dengan mas Bowo karena dikenalkan sama keluarganya, dan hubungan mereka hanya sebatas lewat telepon karena mas Bowo kerja diluar pulau dan setahu aku, mereka berdua dari memulai hubungan sampai mengakhiri hubungan nggak pernah sekalipun bertemu. Sebuah hubungan yang janggal menurutku, menjalani hubungan hanya lewat telepon dan saling mengenal hanya lewat selembar foto? Dari saluran telepon diseberang sana kudengar suara mas Bowo dengan logat Jawanya yang kental berusaha membagi kisahnya denganku “Heemm… kalau saya sama dik Sari dulu masalahnya karena sebetulnya disini saya sudah punya pacar. Salah memang saya karena sudah membohonginya dulu, tapi saya suka sama dik Sari karena kita selalu nyambung saat berkomunikasi. Hanya saja saya kurang suka setiap kali ia menuntut saya untuk melanjutkan pendidikan saya ke jenjang yang lebih tinggi, maklum mas…saya ini cuma tamatan STM, beda dengan dik Sari yang Sarjana. Menurut saya, apa yang salah dari pendidikan saya, toh atasan saya yang Sarjana tidak lebih baik kerjanya dibanding saya. Tapi dik Sari sepertinya sangat memperhatikan masalah pendidikan, ia juga pernah bilang sama saya tentang menuntut ilmu itu nggak ada batasan usia, sampai kapanpun manusia itu harus tetap belajar supaya bisa bertahan hidup dijaman yang keras ini.”, aku setuju sama pendapatnya yang terakhir tentang betapa pentingnya pendidikan.

Aku mulai memahami beberapa kriteria yang ia mau dari penjelasan mantan-mantan kekasihnya. Dan kini aku tinggal cari satu lagi informasi dari mantan pacar terakhirnya mas Tian. Dari mas Tian yang dulu pernah dekat dengannya selama 2th lebih, aku jadi tau kalau ia saat ini mencari suami yang sudah siap untuk menikah bukannya pacar. Dan menurut mas Tian, hubungan mereka nggak bisa lanjut karena mas Tian masih belum bisa memenuhi kemaunnya untuk segera menikahinya dalam waktu dekat karena masalah financial yang masih belum mencukupi.

Dengan bermodalkan informasi yang sudah kudapat dari semua mantan-mantannya, aku mulai mengambil kesimpulan. Dan kini aku berusaha untuk lebih mengenalnya lagi dan mengumpulkan keberanian dalam diriku untuk mengutarakan perasaanku padanya. Tapi aku takkan mengutarakannya saat ini, karena dia masih menjalin hubungan dengan pacarnya. Mungkin nanti setelah ia sendiri dan tak ada yang memiliki. Atau mungkin tak akan pernah kuutarakan padanya, karena aku tak mau melukainya seperti pria-pria yang lain, aku tak mau mebuatnya menangis lagi. Kurasa, cukup aku saja yang tahu tentang perasaanku padanya. Dan hubungan kita akan tetap seperti ini sampai kapanpun juga. Aku akan mencoba mencari kekasih hatiku sendiri yang mungkin mempunyai sifat-sifat sepertinya, yang pasti bukan dia. Tapi kalaupun Allah berkehendak lain dan menjodohkan aku dengannya, aku akan berusaha untuk mendapatkan hatinya dan menjaganya sepenuh hatiku. Wo Ai Ni Sari siaoce, sampai kapanpun………..

2 komentar:

Ms. Kat mengatakan...

ini cerpen'kah? hebat bisa nulis cerpen.. :)

Manggar mengatakan...

makasih...
iya, nih lagi belajar nulis mbak [kalo pas dapet ide aja sih hehehe]